Blok G Tanah Abang: Dari Simbol Penataan PKL Era Jokowi Menuju Senja yang Suram
Dulu, Blok G Tanah Abang adalah potret nyata keberhasilan penataan pedagang kaki lima (PKL) di Ibu Kota. Di bawah kepemimpinan Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta, kompleks ini tidak sekadar menjadi tempat berniaga, melainkan menjelma simbol pendekatan humanis dalam merangkul para PKL yang sebelumnya kerap berhadapan dengan penggusuran. Namun, kini, 18 November 2025, lorong-lorong yang pernah riuh itu menyisakan kesunyian, menyimpan kisah suram tentang ikon yang memudar.
Dari keberanian menata ribuan PKL hingga menjadi denyut nadi ekonomi bagi sebagian warga, Blok G dulunya adalah bukti bahwa keberpihakan pada rakyat kecil bisa diwujudkan tanpa harus mengorbankan ketertiban kota. Citra yang kini terbalik 180 derajat, meninggalkan pertanyaan besar tentang keberlanjutan sebuah visi dalam tata kota Jakarta.
Mengenang Kejayaan: Visi Penataan Humanis Jokowi
Pada masa puncaknya, sekitar satu dekade lalu, Blok G Tanah Abang adalah magnet yang menarik perhatian publik dan media. Ribuan PKL yang sebelumnya berdagang di badan jalan dan trotoar, berhasil direlokasi ke dalam gedung yang disiapkan secara khusus. Langkah ini merupakan bagian integral dari janji kampanye Jokowi yang populer: “Ditata, bukan digusur.” Filosofi ini tidak hanya sekadar slogan, melainkan sebuah aksi nyata yang berhasil mentransformasi kawasan Tanah Abang, menjadikannya lebih tertib dan kondusif bagi pedagang maupun pembeli.
“Pendekatan kami adalah menata, bukan menggusur. Kami ingin para pedagang punya tempat yang layak dan pembeli merasa nyaman. Ini adalah solusi win-win untuk semua pihak,” demikian semangat yang kerap digaungkan Joko Widodo kala itu, mencerminkan komitmen terhadap kesejahteraan pedagang kecil.
Lorong-lorong Blok G kala itu dipenuhi hiruk pikuk transaksi jual beli, tawa pedagang, dan ramainya pengunjung yang berburu aneka kebutuhan, mulai dari pakaian hingga barang elektronik. Gedung ini tidak hanya menjadi pusat perdagangan, tetapi juga ruang interaksi sosial yang hidup dan berdenyut, mewakili mimpi banyak PKL untuk memiliki lapak permanen yang legal dan aman. Sebuah model penataan yang diharapkan dapat direplikasi di berbagai sudut Ibu Kota, menciptakan harmoni antara ketertiban kota dan ruang bagi ekonomi informal.
Senja yang Suram: Lorong Sepi dan Bisnis yang Mati
Namun, kejayaan itu kini hanya tinggal kenangan. 18 November 2025, Blok G Tanah Abang menjelma menjadi labirin yang gelap, sepi, dan terkesan angker. Sebagian besar lapak pedagang telah lama ditinggalkan, pintu-pintu besi tergembok rapat, dan debu tebal melapisi lantai. Hanya segelintir pedagang yang masih bertahan, berjuang di tengah keterbatasan dan sepinya pembeli yang menghimpit. Pemandangan kontras yang menyayat hati, jauh berbeda dari gambaran optimisme masa lalu.
Fenomena kemunduran Blok G ini disinyalir dipicu oleh berbagai faktor kompleks. Selain perubahan pola belanja masyarakat yang kini lebih memilih pusat perbelanjaan modern yang nyaman atau platform daring yang praktis, manajemen dan pemeliharaan gedung yang kurang optimal juga dituding sebagai penyebab utama. Aksesibilitas yang kurang memadai serta persaingan ketat dengan pusat grosir lain di Tanah Abang turut memperparah kondisi. “Dulu ramai sekali, omzet bisa jutaan, sekarang satu hari belum tentu ada satu pembeli. Kami bertahan karena tidak tahu harus ke mana lagi,” keluh seorang pedagang baju yang enggan disebut namanya, mencerminkan keputusasaan yang melanda para penyintas.
Blok G Tanah Abang kini berdiri sebagai monumen bisu atas visi yang belum tuntas, sebuah peringatan akan tantangan dalam menjaga keberlanjutan sebuah proyek penataan urban. Dari ikon penataan PKL yang membanggakan, kini ia merana, menyisakan pekerjaan rumah besar bagi pemerintah daerah untuk menghidupkan kembali denyut nadinya, atau setidaknya, belajar dari kisah suramnya agar inisiatif serupa di masa depan dapat memiliki dampak jangka panjang yang lebih berkelanjutan.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda
