Dualisme PPP Pasca-Muktamar X: Rekonsiliasi Mendesak Demi Soliditas Partai

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tengah menghadapi fase krusial dengan adanya dualisme kepemimpinan pasca-Muktamar X. Kondisi ini memicu kekhawatiran di kalangan internal dan pengamat politik, terutama menjelang kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Dua kubu utama, yakni yang diwakili oleh Pelaksana Tugas (Plt.) Ketua Umum Muhammad Mardiono dan mantan Wakil Ketua Umum DPP PPP Agus Suparmanto, sama-sama mengklaim legitimasi kepemimpinan partai berlambang Kabah tersebut.
Menyikapi situasi tersebut, seorang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) terkemuka, yang dikenal sebagai pakar hukum tata negara, mendesak agar kedua belah pihak segera menempuh jalur rekonsiliasi. Menurutnya, perpecahan lebih lanjut harus dihindari demi menjaga soliditas dan keberlanjutan perjuangan PPP di kancah perpolitikan nasional.
Akar Konflik dan Taruhan Politik Partai
Konflik internal di PPP bukanlah hal baru, namun dualisme pasca-Muktamar X ini dinilai cukup mengkhawatirkan. Masing-masing kubu memiliki klaim dasar hukum dan dukungan dari konstituen partai. Kubu Mardiono berpegang pada legitimasi hasil Muktamar yang menunjuknya sebagai Plt. Ketua Umum, sementara kubu Agus Suparmanto juga mengklaim memiliki dukungan dan dasar hukum yang kuat atas kepemimpinannya.
Perdebatan mengenai keabsahan kepengurusan ini telah menimbulkan kebingungan di tingkat daerah dan basis massa partai. Beberapa DPW dan DPC PPP di berbagai wilayah dilaporkan terbelah, menciptakan ketidakpastian administratif dan politik. Situasi ini tentu saja menjadi tantangan serius bagi PPP yang sedang berupaya mengonsolidasikan kekuatan untuk menghadapi tahapan Pemilu 2024 yang semakin dekat.
Kondisi ini berpotensi besar merugikan PPP dalam jangka panjang, tidak hanya dalam hal perolehan suara tetapi juga terhadap citra partai sebagai kekuatan politik Islam yang moderat. Tanpa penyelesaian yang tuntas dan menyeluruh, energi partai akan terkuras untuk urusan internal, alih-alih fokus pada agenda-agenda kerakyatan dan persiapan Pemilu.
Seruan Rekonsiliasi dari Pakar Hukum Tata Negara
Melihat kondisi yang semakin memanas, seruan rekonsiliasi dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi menjadi sorotan utama. Sosok yang tidak ingin identitasnya disebut secara eksplisit dalam konteks ini, menekankan pentingnya mengesampingkan ego demi kepentingan partai yang lebih besar. Ia menyoroti bahwa klaim legitimasi dari kedua belah pihak, meskipun diutarakan dengan keyakinan, justru menjadi pangkal perpecahan.
“Meskipun kedua belah pihak sama-sama mengaku sebagai kader terbaik dan memiliki legitimasi, keabsahan yang diperdebatkan justru menggerogoti esensi perjuangan partai. Jalan tengah melalui rekonsiliasi adalah satu-satunya solusi berkelanjutan untuk menghindari perpecahan yang lebih jauh,” ujar sumber tersebut pada 30 September 2025. “Soliditas internal adalah prasyarat mutlak bagi partai politik mana pun untuk bisa bersaing dan memenangkan hati rakyat, terutama menjelang tahun politik krusial seperti 2024.”
Pakar hukum tata negara tersebut juga mengingatkan bahwa penyelesaian konflik internal partai politik memiliki mekanisme tersendiri, termasuk melalui Mahkamah Partai atau badan independen lainnya yang disepakati. Proses hukum atau penyelesaian melalui lembaga negara, seperti Kementerian Hukum dan HAM, hanya akan efektif jika ada niat kuat dari kedua belah pihak untuk berdamai dan menerima keputusan yang adil.
Saat ini, publik menanti langkah konkret dari kedua kubu PPP untuk menanggapi seruan rekonsiliasi ini. Masa depan partai, yang memiliki sejarah panjang dalam perpolitikan Indonesia, sangat bergantung pada kemampuan para pemimpinnya untuk mencari titik temu dan mengembalikan soliditas demi menjaga marwah partai dan aspirasi konstituennya.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda