October 23, 2025

Delik Kalbar

Satu Portal, Banyak Cerita

Penyintas Talasemia Gugat UU Disabilitas di MK: Perjuangan Hak Setara

Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi panggung bagi perjuangan hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia, khususnya bagi mereka dengan kondisi kronis seperti talasemia. Fadel Nooriandi, seorang penyintas talasemia, belum lama ini memanfaatkan kesempatannya sebagai saksi kunci dalam sidang gugatan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Gugatan ini menyoroti minimnya pengakuan dan perlindungan hukum bagi individu dengan penyakit kronis yang juga menghadapi berbagai hambatan dalam kehidupan sehari-hari, menuntut keadilan dan kesetaraan di mata hukum.

Aksi Fadel ini bukan sekadar upaya personal, melainkan representasi dari ribuan penyintas talasemia dan individu dengan kondisi kronis lainnya yang merasa terpinggirkan oleh definisi disabilitas yang ada. Mereka berharap, melalui proses yudisial di MK, payung hukum yang lebih inklusif dapat tercipta, menjamin hak-hak mereka sejajar dengan penyandang disabilitas lainnya.

Mengenal Gugatan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas merupakan landasan hukum yang bertujuan untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia. Namun, gugatan yang diajukan ke MK ini menunjukkan bahwa terdapat celah interpretasi, khususnya terkait cakupan definisi “disabilitas” itu sendiri. Para pemohon, termasuk Fadel Nooriandi, berargumen bahwa undang-undang tersebut belum sepenuhnya mengakomodasi kondisi penyakit kronis yang memerlukan penanganan seumur hidup dan seringkali menimbulkan keterbatasan fungsi, sama halnya dengan disabilitas fisik atau mental.

Fokus utama gugatan ini adalah meminta MK untuk menafsirkan ulang atau memperluas definisi disabilitas agar secara eksplisit mencakup kondisi seperti talasemia. Tanpa pengakuan resmi sebagai penyandang disabilitas, individu dengan penyakit kronis kerap kesulitan mengakses fasilitas kesehatan yang memadai, kesempatan kerja yang setara, pendidikan inklusif, serta berbagai program bantuan sosial yang seharusnya menjadi hak mereka. Proses di MK ini diharapkan dapat menghadirkan kejelasan hukum dan keadilan bagi kelompok yang selama ini mungkin luput dari perhatian legislasi.

Suara Fadel: Representasi Perjuangan Komunitas Talasemia

Sebagai penyintas talasemia, Fadel Nooriandi memahami betul beratnya hidup dengan kondisi kronis. Talasemia, kelainan darah bawaan yang menyebabkan tubuh tidak mampu memproduksi hemoglobin secara normal, menuntut transfusi darah rutin seumur hidup dan konsumsi obat kelasi besi untuk mengatasi penumpukan zat besi. Biaya pengobatan yang fantastis, efek samping yang berkelanjutan, serta stigma sosial menjadi tantangan sehari-hari yang tidak mudah diatasi. Keterbatasan fisik dan kelelahan kronis juga seringkali membatasi aktivitas dan produktivitas mereka.

Dalam kesaksiannya di MK, Fadel diperkirakan memaparkan secara gamblang bagaimana kondisi talasemia memengaruhi kualitas hidupnya, dari segi kesehatan, pendidikan, hingga peluang kerja. Dia menekankan bahwa meskipun kondisinya tidak selalu terlihat secara fisik, dampaknya terhadap fungsi dan partisipasi sosial sama signifikan dengan disabilitas lainnya. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa undang-undang dapat memberikan perlindungan yang komprehensif tanpa diskriminasi. Kisah Fadel menjadi penggerak bagi banyak individu dengan kondisi serupa.

“Kami bukan meminta belas kasihan, kami menuntut hak yang sama. Talasemia adalah kondisi seumur hidup, dan kami berhak diakui serta mendapatkan perlindungan penuh di bawah payung hukum disabilitas, seperti hak mendapatkan akses layanan kesehatan yang mudah, kesempatan kerja yang adil, serta fasilitas publik yang ramah,” ungkap Fadel Nooriandi, menunjukkan tekadnya di hadapan majelis hakim.

Implikasi Putusan MK bagi Lanskap Disabilitas Indonesia

Putusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan ini akan memiliki implikasi yang luas bagi lanskap hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia. Jika gugatan dikabulkan, bukan hanya penyintas talasemia yang akan merasakan manfaatnya, tetapi juga individu dengan berbagai penyakit kronis lainnya yang selama ini belum terakomodasi dalam definisi disabilitas yang ada. Perluasan definisi disabilitas dapat membuka pintu bagi jutaan warga negara untuk mendapatkan akses yang lebih baik terhadap layanan publik, perlindungan hukum, dan dukungan sosial.

Sebaliknya, jika gugatan ditolak, perjuangan untuk pengakuan hak-hak bagi individu dengan penyakit kronis mungkin harus menempuh jalur lain, seperti advokasi legislatif untuk merevisi undang-undang. Apapun hasilnya, proses gugatan ini telah berhasil mengangkat isu penting ke permukaan, mendorong diskusi publik tentang inklusivitas dan kesetaraan bagi semua warga negara, tanpa terkecuali. Keputusan MK, yang diperkirakan akan keluar dalam beberapa waktu ke depan, akan menjadi tonggak penting dalam sejarah hak asasi manusia di Indonesia.

Perjuangan Fadel Nooriandi di Mahkamah Konstitusi pada 23 October 2025 merupakan cerminan dari semangat pantang menyerah untuk meraih keadilan dan kesetaraan. Kasus ini diharapkan dapat menjadi momentum krusial bagi pemerintah dan masyarakat untuk kembali meninjau komitmen terhadap prinsip-prinsip inklusivitas dan hak asasi manusia bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.


Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.