REPDEM: Pelaporan Ribka Tjiptaning Ancam Ruang Demokrasi dan Kritik Sejarah
Jaringan Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM) menyuarakan keprihatinan mendalam terkait laporan terhadap politikus senior PDI Perjuangan, Ribka Tjiptaning. REPDEM menilai laporan yang muncul setelah pernyataan Ribka mengenai mantan Presiden Soeharto sebagai upaya sistematis untuk membungkam suara kritis dan refleksi sejarah yang sah dalam negara demokrasi. Kasus ini kembali menyoroti sensitivitas ruang ekspresi dan batasan kritik di tengah masyarakat Indonesia.
Ketua Umum REPDEM, Irfan Fauzi, dalam keterangan persnya di Jakarta pada 12 November 2025, menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak konstitusional untuk menyampaikan pandangan dan analisisnya, termasuk terhadap tokoh sejarah maupun peristiwa politik masa lalu. “Pernyataan Ibu Ribka adalah bentuk dialektika sejarah yang sehat, sebuah upaya untuk melihat kembali narasi masa lalu dari berbagai sudut pandang,” ujar Irfan. Menurutnya, upaya kriminalisasi terhadap pandangan semacam ini adalah kemunduran bagi iklim demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah.
Sebelumnya, Ribka Tjiptaning memang sempat menjadi sorotan publik setelah melontarkan pandangannya terkait kepemimpinan mantan Presiden Soeharto dalam beberapa kesempatan. Meskipun detail pernyataannya bervariasi, intinya berkisar pada evaluasi kritis terhadap era Orde Baru dan dampaknya terhadap Indonesia. Pernyataan tersebut, yang kemudian memicu reaksi dan pelaporan ke pihak berwajib, kini menjadi arena pertarungan antara kebebasan berpendapat dan potensi interpretasi hukum.
Kebebasan Berpendapat dan Batas Kritik
Polemik yang menyertai laporan terhadap Ribka Tjiptaning ini tak pelak kembali membuka diskursus tentang esensi kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi. Di satu sisi, hak untuk mengemukakan kritik politik dan refleksi sejarah dijamin oleh konstitusi Republik Indonesia. Namun, di sisi lain, batasan-batasan hukum seperti pencemaran nama baik atau ujaran kebencian kerap kali menjadi argumen pihak pelapor. REPDEM menegaskan bahwa kritik terhadap kebijakan atau kepemimpinan di masa lalu, terutama yang telah menjadi bagian dari catatan sejarah bangsa, harus dibedakan secara tegas dari upaya fitnah personal atau provokasi.
Menurut REPDEM, pelaporan semacam ini dapat menciptakan ‘efek gentar’ (chilling effect) di kalangan masyarakat dan akademisi, di mana mereka akan enggan untuk menyuarakan pandangan kritis atau melakukan analisis sejarah yang mungkin kontroversial, karena khawatir akan menghadapi konsekuensi hukum. Hal ini, lanjut Irfan, sangat berbahaya bagi perkembangan intelektual dan diskursus publik yang sehat dalam sebuah negara demokrasi.
“Kami melihat pelaporan ini bukan sekadar insiden hukum biasa, melainkan sebuah sinyal bahaya bagi ruang demokrasi kita. Jika kritik terhadap tokoh sejarah saja bisa dikriminalisasi, lantas di mana kebebasan berpendapat yang selama ini kita junjung? Ini adalah upaya pembungkaman yang terstruktur dan harus dilawan.”
Implikasi Hukum dan Preseden Demokrasi
Laporan yang diajukan terhadap Ribka Tjiptaning kini berada di tangan aparat penegak hukum, yang tentu akan melakukan penyelidikan lebih lanjut sesuai prosedur yang berlaku. REPDEM berharap agar kepolisian dapat menyikapi laporan ini dengan bijak dan melihat konteksnya secara komprehensif, bukan hanya dari sudut pandang hukum semata, tetapi juga dari perspektif hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi yang lebih luas.
Kasus ini berpotensi menciptakan preseden baru dalam penafsiran hukum terkait kritik politik dan refleksi sejarah di Indonesia. Para pengamat hukum tata negara menilai bahwa penanganan kasus semacam ini akan menjadi indikator penting bagi kesehatan demokrasi di Indonesia. Ketegasan dalam membedakan antara kritik yang membangun dan upaya provokasi, serta penekanan pada konteks historis dan hak berpendapat, menjadi kunci agar ruang publik tetap kondusif bagi pertukaran gagasan tanpa dihantui ancaman kriminalisasi.
Dengan mencuatnya kasus Ribka Tjiptaning, publik diajak untuk kembali merenungkan sejauh mana batas-batas kebebasan berpendapat boleh direnggut. REPDEM mendesak semua pihak, termasuk pemerintah dan aparat penegak hukum, untuk menjaga agar kritik dan refleksi sejarah tetap menjadi bagian integral dari dinamika demokrasi Indonesia, bukan menjadi objek kriminalisasi yang mengancam sendi-sendi kebebasan sipil dan kemajuan bangsa.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda
