Mendikdasmen Mu’ti Tekankan Peran Ortu Atasi Polemik Penggunaan Gawai Siswa
Jakarta, 22 November 2025 – Polemik mengenai larangan membawa ponsel pintar atau gawai ke lingkungan sekolah kembali mencuat, memicu berbagai respons dari para pemangku kepentingan. Menyikapi usulan yang berkembang, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti memberikan pandangan yang lebih komprehensif, menekankan bahwa fokus pengawasan penggunaan teknologi pada anak tidak hanya berada di pundak institusi pendidikan, melainkan juga di lingkungan keluarga.
Mendikdasmen Soroti Tanggung Jawab Komprehensif
Dalam pernyataannya, Abdul Mu’ti menggarisbawahi pentingnya melihat permasalahan penggunaan gawai pada anak dari perspektif yang lebih luas. Ia menyoroti bahwa isu ini melampaui batas-batas fisik sekolah dan sangat berkaitan erat dengan peran serta pengawasan orang tua di rumah. Pendapat Mu’ti ini mengindikasikan bahwa larangan di sekolah saja mungkin tidak cukup efektif jika tidak dibarengi dengan edukasi dan pengawasan yang memadai dari keluarga.
“Sebenarnya fokus penggunaan HP tak hanya ketika di sekolah, tetapi saat anak di rumah dan kurang pengawasan orang tua. Ini adalah isu yang kompleks dan memerlukan pendekatan holistik dari berbagai pihak.”
Mu’ti menambahkan bahwa seringkali orang tua abai terhadap durasi dan jenis konten yang diakses anak-anak mereka di rumah, terutama setelah jam sekolah usai. Kurangnya pengawasan ini dapat menimbulkan dampak negatif yang lebih luas, mulai dari kecanduan gawai, terpapar konten tidak pantas, hingga masalah kesehatan mata dan mental. Oleh karena itu, edukasi digital bagi orang tua menjadi krusial dalam membentuk lingkungan digital yang aman dan produktif bagi anak-anak.
Dinamika dan Solusi Berkelanjutan
Wacana pelarangan gawai di sekolah muncul bukan tanpa alasan. Berbagai penelitian dan laporan menunjukkan bahwa keberadaan ponsel di kelas kerap mengganggu konsentrasi belajar, memicu perilaku tidak pantas seperti perundungan siber (cyberbullying), hingga menciptakan kesenjangan sosial di antara siswa. Namun, di sisi lain, gawai juga dapat menjadi alat pendukung pembelajaran yang inovatif jika dimanfaatkan secara bijak.
Menanggapi dinamika ini, Abdul Mu’ti mendorong adanya kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Sekolah dapat menetapkan kebijakan yang jelas mengenai penggunaan gawai, misalnya dengan menerapkan waktu-waktu tertentu untuk penggunaan yang mendukung pembelajaran, atau menyediakan loker khusus untuk menyimpan gawai selama jam pelajaran. Sementara itu, peran orang tua sangat vital dalam menanamkan etika digital, membatasi waktu layar, serta berkomunikasi terbuka dengan anak mengenai risiko dan manfaat teknologi.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga diharapkan dapat menggagas program-program literasi digital yang menyasar tidak hanya siswa dan guru, tetapi juga para orang tua. Dengan demikian, ekosistem pendidikan yang adaptif terhadap era digital dapat tercipta, tanpa mengorbankan kualitas pembelajaran dan tumbuh kembang anak secara optimal.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda
