Komisi III DPR: Aturan Penyadapan Dikeluarkan dari Revisi KUHAP, Akan Ada UU Khusus

JAKARTA, 12 July 2025 – Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara tegas menyatakan bahwa pembahasan mengenai aturan penyadapan tidak akan dimasukkan dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Keputusan ini menandai arah baru dalam regulasi penegakan hukum di Indonesia, di mana penyadapan akan diatur secara mandiri melalui sebuah undang-undang khusus yang terpisah.
Pemisahan ini diambil dengan pertimbangan serius mengenai kompleksitas dan sensitivitas isu penyadapan yang berkaitan erat dengan hak privasi warga negara, serta kewenangan lembaga penegak hukum. Langkah ini diharapkan mampu menciptakan kerangka hukum yang lebih komprehensif, transparan, dan akuntabel.
Latar Belakang dan Urgensi Pengaturan Terpisah
Isu penyadapan telah lama menjadi topik perdebatan di Indonesia, terutama terkait dengan keseimbangan antara kebutuhan penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Selama ini, pengaturan mengenai penyadapan tersebar dalam berbagai undang-undang sektoral, seperti Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Undang-Undang Intelijen Negara. Kondisi ini kerap menimbulkan celah hukum dan potensi multitafsir, yang bisa berujung pada penyalahgunaan wewenang.
Anggota Komisi III DPR RI, Arif Hidayat, menjelaskan bahwa keputusan untuk memisahkan aturan penyadapan dari revisi KUHAP merupakan hasil kajian mendalam. Menurutnya, urgensi pengaturan penyadapan dalam undang-undang khusus didasari oleh kebutuhan akan kerangka hukum yang tunggal, jelas, dan seragam untuk semua lembaga yang berwenang melakukan penyadapan.
Penyadapan adalah isu yang sangat sensitif, menyangkut privasi fundamental warga negara. Oleh karena itu, kami di Komisi III berpandangan bahwa pengaturannya tidak bisa hanya sekadar ‘sisipan’ dalam revisi KUHAP. Ini membutuhkan payung hukum tersendiri yang komprehensif, dengan mekanisme pengawasan ketat dan jaminan akuntabilitas yang transparan. Proses legislasi yang lebih panjang ini justru akan memastikan setiap aspek dipertimbangkan secara matang demi kepentingan bangsa dan hak asasi manusia.
Penyusunan undang-undang khusus penyadapan ini diharapkan akan membahas secara rinci berbagai aspek krusial, mulai dari definisi penyadapan, prosedur permohonan dan pemberian izin penyadapan, jangka waktu penyadapan, jenis data yang boleh disadap, hingga mekanisme pengawasan dan sanksi bagi pelanggar. Hal ini dianggap penting untuk menghindari tumpang tindih regulasi dan memastikan praktik penyadapan dilakukan sesuai koridor hukum yang berlaku.
Mekanisme Baru dan Jaminan Akuntabilitas
Dengan adanya undang-undang khusus, proses legislasi dan implementasi terkait penyadapan diproyeksikan akan berjalan lebih panjang dan melibatkan banyak pihak. Pemerintah dan DPR akan dituntut untuk merumuskan regulasi yang tidak hanya kuat dari segi hukum, tetapi juga responsif terhadap perkembangan teknologi dan tantangan penegakan hukum di era digital.
Salah satu fokus utama dalam penyusunan UU khusus penyadapan adalah penguatan mekanisme pengawasan. Diharapkan akan ada badan independen atau sistem pengawasan yudisial yang kuat untuk memastikan bahwa izin penyadapan tidak disalahgunakan dan data hasil penyadapan digunakan sesuai peruntukannya. Transparansi dalam proses perizinan dan pelaporan juga akan menjadi kunci untuk membangun kepercayaan publik.
Langkah ini juga dipandang sebagai upaya DPR untuk menunjukkan komitmen terhadap reformasi hukum yang berkelanjutan, dengan menempatkan perlindungan hak privasi sebagai prioritas utama tanpa mengurangi efektivitas kerja lembaga penegak hukum dalam memberantas kejahatan. Komisi III DPR optimistis bahwa undang-undang khusus ini akan menjadi landasan hukum yang kokoh, menciptakan keseimbangan yang adil antara kepentingan negara dan hak-hak individual warga negara.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda