July 28, 2025

Delik Kalbar

Satu Portal, Banyak Cerita

Kudatuli 1996: Menguak Luka Lama Demokrasi Indonesia

Jakarta, 28 July 2025 – Dua puluh delapan tahun silam, tepatnya 27 Juli 1996, sejarah politik Indonesia tercatat kelam dengan peristiwa yang dikenal sebagai Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli atau Kudatuli. Tragedi berdarah ini terjadi di markas Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat, menjadi salah satu titik nadir kebebasan berpendapat dan berorganisasi pada era Orde Baru.

Konflik Internal PDI dan Intervensi Rezim Orde Baru

Peristiwa Kudatuli tidak dapat dipisahkan dari konflik internal PDI yang memanas sejak Kongres PDI di Medan pada tahun 1996. Kongres tersebut, yang secara luas dianggap didukung dan dimanipulasi oleh pemerintah Orde Baru, berusaha menggulingkan Megawati Sukarnoputri dari kursi Ketua Umum PDI. Megawati, putri Proklamator Soekarno, telah terpilih secara sah dalam Kongres PDI di Surabaya tahun 1993, namun popularitasnya yang semakin meningkat dan independensinya dianggap mengancam stabilitas politik rezim Suharto.

Pemerintah Orde Baru kala itu tidak mentolerir adanya kekuatan politik di luar kendali mereka. PDI di bawah kepemimpinan Megawati menjadi wadah bagi aspirasi masyarakat yang mendambakan perubahan, termasuk kelompok mahasiswa, aktivis, dan simpatisan yang tidak puas dengan kondisi politik dan ekonomi saat itu. Penolakan Megawati untuk mundur dan terus mempertahankan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, yang menjadi pusat konsolidasi para pendukungnya, memicu ketegangan yang kian memuncak.

Hari Berdarah 27 Juli 1996

Puncak ketegangan terjadi pada Sabtu pagi, 27 Juli 1996. Sekelompok massa yang mengatasnamakan pendukung PDI versi Suryadi (pihak yang diakui pemerintah) menyerbu kantor DPP PDI di Diponegoro 58. Penyerangan ini, yang diduga kuat didukung aparat keamanan, menyebabkan bentrokan sengit antara penyerang dan ribuan simpatisan Megawati yang telah berjaga di dalam dan sekitar markas PDI.

Situasi berubah menjadi chaos. Api berkobar melahap gedung, massa saling serang, dan suara tembakan terdengar di tengah kerumunan. Pihak kepolisian dan militer yang seharusnya mengamankan, justru dinilai lamban dalam bertindak atau bahkan membiarkan kekerasan terjadi. Akibatnya, banyak korban berjatuhan. Data resmi pemerintah hanya mengakui 5 orang tewas, namun Komnas HAM dan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) mencatat jumlah korban tewas dan luka-luka jauh lebih banyak, termasuk puluhan orang yang hilang dan tidak pernah ditemukan hingga kini. Tragedi ini juga menyebabkan kerusakan materi yang parah.

“Kudatuli bukan sekadar peristiwa kekerasan politik, melainkan simbol kuat bagaimana kekuasaan dapat membungkam aspirasi rakyat, meninggalkan luka yang belum sepenuhnya terobati hingga kini.”

Jejak Kudatuli: Penegakan Hukum dan Memori Kolektif

Pasca-Kudatuli, rezim Orde Baru langsung mengambil tindakan represif. Puluhan aktivis pro-demokrasi, termasuk beberapa tokoh seperti Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan, ditangkap dan diadili dengan tuduhan subversi. Mereka dituduh sebagai dalang di balik kerusuhan, sementara aktor intelektual di balik penyerbuan dan kekerasan massal justru luput dari jeratan hukum.

Hingga kini, kasus Kudatuli masih menjadi salah satu pekerjaan rumah terbesar dalam penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Meskipun telah berganti era ke Reformasi, tuntutan untuk mengusut tuntas siapa dalang di balik tragedi ini dan membawa mereka ke pengadilan masih terus disuarakan oleh keluarga korban dan aktivis HAM. Peristiwa ini menjadi pengingat pahit akan bahaya intervensi kekuasaan terhadap independensi partai politik dan pentingnya perlindungan hak-hak sipil serta politik warga negara. Kudatuli tetap hidup dalam memori kolektif bangsa sebagai simbol perjuangan panjang menuju demokrasi yang sejati.


Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.