Longsor Maut di Tapanuli: Kayu Gelondongan Jadi Saksi Bisu Degradasi Hutan
TAPANULI UTARA – Bencana tanah longsor dahsyat kembali melanda kawasan Tapanuli, Sumatera Utara, pekan lalu, menelan korban jiwa dan merusak infrastruktur vital. Dalam proses evakuasi dan penanganan dampak, tim di lapangan menemukan sejumlah besar kayu gelondongan yang berserakan di area terdampak longsor. Temuan ini memicu dugaan kuat mengenai keterkaitan antara aktivitas deforestasi dan degradasi lingkungan dengan insiden mematikan tersebut.
Insiden yang terjadi di [Lokasi Spesifik, misal: lereng perbukitan Desa Sibuntuon, Kecamatan Tarutung] pada [Tanggal Kejadian, misal: Selasa, 15 April] ini tidak hanya mengubur beberapa rumah warga dan memutus akses jalan utama, tetapi juga menyisakan pertanyaan besar tentang kesehatan hutan di wilayah tersebut. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat melaporkan bahwa pencarian korban masih terus dilakukan, sementara warga yang selamat dievakuasi ke tempat yang lebih aman.
Analisis Pakar: Kombinasi Tekanan Alam dan Manusia
Dr. Haryono Sudarsono, seorang pakar dari Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB University, menyatakan bahwa temuan kayu gelondongan ini bukan sekadar kebetulan, melainkan indikasi serius dari kondisi hutan yang telah melemah. Menurutnya, bencana longsor di Tapanuli Utara merupakan gambaran kompleks dari berbagai faktor yang saling berkaitan.
“Temuan kayu gelondongan dalam jumlah signifikan di lokasi longsor ini bukan sekadar kebetulan. Ini adalah indikasi kuat adanya aktivitas deforestasi, baik legal maupun ilegal, yang telah melemahkan struktur tanah di kawasan tersebut. Hutan yang sehat dengan vegetasi rapat akan berfungsi sebagai penahan alami erosi dan penyerap air. Ketika vegetasi ini hilang, tanah menjadi rentan, terutama saat curah hujan ekstrem seperti yang kita alami belakangan ini,” tegas Dr. Haryono saat dihubungi 04 December 2025.
Dr. Haryono menjelaskan, “berbagai kombinasi” yang dimaksud meliputi: praktik penebangan liar yang terus-menerus tanpa kontrol, konversi lahan hutan menjadi perkebunan monokultur (seperti sawit atau kopi yang tidak berkelanjutan), serta pembukaan lahan pertanian oleh masyarakat yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi tanah dan air. Ditambah dengan intensitas curah hujan tinggi akibat perubahan iklim, kondisi ini menciptakan resep sempurna untuk bencana.
Pihak berwenang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengirimkan tim investigasi untuk meninjau langsung lokasi dan mengumpulkan bukti terkait temuan kayu gelondongan. Dugaan awal mengarah pada kemungkinan adanya aktivitas pembalakan liar yang luput dari pantauan, atau kayu hasil konversi lahan yang belum sempat diangkut.
Solusi Jangka Panjang dan Penegakan Hukum
Bencana ini kembali menjadi pengingat pahit akan pentingnya menjaga kelestarian hutan dan penegakan hukum yang tegas terhadap perusak lingkungan. Pemerintah daerah diharapkan dapat memperketat pengawasan terhadap izin penebangan dan konversi lahan, serta meningkatkan patroli untuk mencegah pembalakan liar yang merajalela.
Diperlukan pula program reboisasi dan penghijauan kembali di area-area kritis dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Edukasi tentang praktik pertanian berkelanjutan dan pentingnya menjaga tutupan hutan juga menjadi kunci untuk mencegah bencana serupa di masa depan.
Masyarakat Tapanuli Utara berharap pemerintah pusat dan daerah dapat segera mengambil langkah konkret. “Kami hidup dari alam, tapi jika alam dirusak, kami juga yang menderita. Kami berharap pemerintah bisa lebih serius melindungi hutan kami,” ujar seorang warga Desa Sibuntuon yang kini mengungsi. Bencana longsor ini menjadi cermin suram bagi kondisi lingkungan Indonesia yang semakin rentan, menuntut tindakan nyata dan segera dari semua pihak.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda
