August 3, 2025

Delik Kalbar

Satu Portal, Banyak Cerita

Polemik Royalti Musik: Kafe Enggan Putar Lagu Lokal

Sebuah fenomena mencuat di kancah bisnis kuliner dan hiburan Tanah Air: kekhawatiran yang meluas di kalangan pemilik kafe dan tempat usaha terhadap kewajiban pembayaran royalti lagu. Dilema ini mendorong sebagian besar pelaku usaha untuk enggan memutar lagu-lagu ciptaan musisi Indonesia, bahkan memilih beralih ke lagu mancanegara atau menciptakan suasana tanpa musik sama sekali. Situasi ini menimbulkan polemik serius, mempertanyakan bagaimana keseimbangan antara perlindungan hak cipta dan keberlangsungan ekosistem ekonomi kreatif dapat tercapai di Indonesia pada 03 August 2025.

Ancaman bagi Industri Kreatif Lokal

Kekhawatiran utama para pemilik usaha berpusat pada prosedur dan besaran royalti yang harus dibayarkan, serta potensi sanksi hukum jika tidak memenuhi kewajiban tersebut. Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, setiap pihak yang menggunakan lagu secara komersial, termasuk kafe, restoran, hotel, hingga pusat perbelanjaan, diwajibkan membayar royalti kepada pencipta lagu dan pemegang hak terkait melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Meskipun niat di balik peraturan ini adalah untuk memastikan musisi dan pencipta lagu mendapatkan haknya secara adil, implementasinya di lapangan memicu beragam reaksi.

Beberapa pemilik kafe mengungkapkan kebingungan mengenai mekanisme penghitungan royalti, transparansi dana yang terkumpul, dan distribusi kepada para seniman. Minimnya sosialisasi yang komprehensif dari pihak berwenang atau LMKN dianggap sebagai salah satu penyebab utama ketidakpastian ini. Akibatnya, alih-alih mengambil risiko, banyak yang memilih jalan aman, yakni menghindari penggunaan lagu-lagu lokal yang berpotensi menimbulkan kewajiban royalti. Fenomena ini, jika terus berlanjut, berpotensi merugikan industri musik nasional, membatasi eksposur karya-karya anak bangsa, dan pada akhirnya, menghambat pertumbuhan ekonomi kreatif.

Hak cipta adalah inti dari penghargaan terhadap karya intelektual. Pemberian royalti bukan beban, melainkan bentuk apresiasi dan keberlangsungan bagi para musisi dan pencipta lagu. Tantangan ada pada bagaimana sistem ini dapat berjalan transparan, adil, dan mudah diakses oleh semua pihak yang berkepentingan.

Mencari Titik Temu Antara Hak Cipta dan Praktik Bisnis

Polemik ini menyoroti pentingnya dialog konstruktif antara pemerintah, LMKN, para pelaku industri musik, dan asosiasi pengusaha. Solusi tidak dapat hanya berpihak pada satu sisi, melainkan harus mencari titik temu yang saling menguntungkan. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah memperjelas prosedur pembayaran royalti, menyederhanakan mekanisme pelaporan, dan menyediakan platform yang mudah diakses bagi para pelaku usaha untuk memenuhi kewajiban mereka.

Pemerintah dan LMKN juga perlu meningkatkan upaya sosialisasi dan edukasi mengenai pentingnya perlindungan hak cipta, sekaligus memberikan jaminan transparansi dalam pengelolaan dana royalti. Di sisi lain, para pemilik usaha juga diharapkan dapat memahami bahwa royalti adalah bentuk penghargaan atas karya intelektual yang menjadi fondasi bagi keberlangsungan industri kreatif. Menciptakan skema tarif yang fleksibel dan proporsional sesuai skala usaha juga bisa menjadi pertimbangan, agar beban tidak terlalu memberatkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Keseimbangan antara perlindungan hak cipta yang kuat dan kemudahan bagi pelaku usaha untuk mematuhinya adalah kunci. Dengan sinergi dan komunikasi yang baik, diharapkan polemik royalti musik ini dapat menemukan jalan keluar yang adil, memastikan hak para musisi terlindungi, sekaligus tidak menghambat roda ekonomi tempat-tempat usaha yang menjadi etalase bagi karya-karya mereka.


Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.