TB Hasanuddin: Penempatan Polisi di Jabatan Sipil Langgar UU Tanpa Putusan MK
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, TB Hasanuddin, kembali menyoroti polemik penempatan anggota Polri dalam jabatan sipil. Menurutnya, praktik tersebut secara fundamental melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, kecuali jika didasari oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pernyataan Hasanuddin ini muncul di tengah perdebatan yang seringkali mengemuka mengenai batas-batas penugasan aparat kepolisian di luar institusi asalnya. Sebagai seorang purnawirawan perwira tinggi TNI, pandangan Hasanuddin seringkali menjadi perhatian dalam isu-isu keamanan dan tata negara.
Dasar Hukum dan Argumen TB Hasanuddin
TB Hasanuddin menegaskan bahwa larangan penempatan anggota Polri dalam jabatan sipil sudah tertulis dengan jelas dalam Pasal 28 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Pasal tersebut, menurutnya, secara eksplisit mengatur tugas dan fungsi Polri yang melekat pada institusi kepolisian, bukan untuk menduduki posisi di luar struktur kepolisian.
Ia menggarisbawahi bahwa keberadaan putusan MK kerap kali menjadi dasar pembenaran untuk penempatan anggota Polri di jabatan sipil. Namun, menurutnya, putusan tersebut seharusnya dipahami sebagai pengecualian yang spesifik, bukan sebagai pembenaran umum yang mengesampingkan semangat UU Kepolisian itu sendiri.
“Tanpa adanya putusan MK yang memberikan tafsir lain, sebetulnya polisi tak bisa menduduki jabatan sipil kalau negara ikut aturan yang berlaku,” kata TB Hasanuddin dalam pernyataannya kepada media pada 14 November 2025.
Hasanuddin menekankan pentingnya kepatuhan terhadap undang-undang dasar dan regulasi yang ada demi menjaga profesionalisme dan independensi masing-masing institusi. Baginya, penempatan polisi di jabatan sipil tanpa landasan hukum yang kuat dan tafsir yang jelas dari lembaga yudikatif dapat menciptakan preseden yang kurang baik dalam tata kelola pemerintahan.
Implikasi dan Perdebatan Publik
Polemik mengenai penempatan anggota Polri di jabatan sipil bukan kali ini saja mencuat. Praktik ini seringkali memicu perdebatan mengenai netralitas aparatur negara, profesionalisme, serta pemisahan yang tegas antara fungsi sipil dan militer/polisi dalam struktur pemerintahan.
Para kritikus berpendapat bahwa penempatan ini dapat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, menghambat karier Aparatur Sipil Negara (ASN) sipil yang seharusnya mengisi posisi tersebut, dan mengaburkan batas-batas kewenangan. Kondisi ini juga dikhawatirkan dapat mengurangi fokus Polri pada tugas-tugas pokok kepolisian yang sudah diatur dalam undang-undang.
TB Hasanuddin secara tidak langsung menyerukan agar pemerintah dan institusi terkait lebih cermat dalam menafsirkan dan menerapkan undang-undang, serta tidak hanya berpegangan pada celah hukum yang mungkin timbul dari putusan yudikatif tanpa mempertimbangkan semangat dasar regulasi. Pernyataan ini diharapkan dapat kembali mendorong diskusi yang lebih mendalam mengenai reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang bersih dan profesional di Indonesia.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda
